Perubahan
kedua dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) membuka
kemungkinan penutupan akun media sosial (medsos) jika dianggap melanggar
ketentuan. UU ITE terbaru ini disetujui dalam Rapat Paripurna DPR di Jakarta
pada Selasa (5/12).
Sejumlah
peraturan baru diperkenalkan, termasuk ketentuan terkait kewajiban
Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), yang mencakup perusahaan-perusahaan
pemilik media sosial seperti Meta, Twitter, atau X, dan perusahaan teknologi
seperti Google, untuk mematuhi keinginan pemerintah.
Pasal
40 A ayat (3) menyatakan, "Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mematuhi
perintah sebagaimana dijelaskan pada ayat (2)."
Jika
PSE enggan mematuhi, UU ITE menetapkan sanksi berjenjang, termasuk sanksi
administratif, teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara,
hingga pemutusan akses.
UU
ITE terbaru ini juga mencakup aturan baru terkait kewenangan penyidik untuk
menutup akun medsos dengan memerintahkan PSE.
Pasal
43 huruf (i) menjelaskan bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memiliki
kewenangan "memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk
melakukan pemutusan akses sementara terhadap akun media sosial, rekening bank,
uang elektronik, dan/atau aset digital."
Meskipun
demikian, Koalisi Serius untuk Revisi UU ITE mengkritik ketentuan ini,
menyatakan bahwa hal tersebut memungkinkan negara dengan mudah membatasi akses
terhadap informasi yang dianggap berbahaya.
Koalisi
juga meragukan bahwa pemerintah belajar dari kasus pemutusan akses internet di
Papua pada 2019, yang akhirnya dianggap melanggar hukum oleh Mahkamah Agung.
Wakil
Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria, menyatakan keyakinannya bahwa
revisi kedua UU ITE ini akan melindungi hak-hak individu, dan isu keluhan yang
terkait dengan UU ITE tidak akan terjadi lagi.